Ibu Stay at home VS Ibu work from office

(Seharusnya) Women Support Women


Perdebatan tentang ibu yang bekerja dan ibu yang menyebut dirinya ibu rumah tangga telah menjadi diskusi yang sering kali berakhir dengan adu nasib. Perempuan dengan keseharian yang berbeda berdasarkan preferensi waktu yang dihabiskan di rumah dan di kantor ini, dijadikan perdebatan pada titik pada hal paling mendasar yakni peran sebagai ibu yang mendampingi tumbuh kembang anak.

Setelah lama melihat perdebatan ini, saya merasa bahwa diksi yang dipakailah yang melahirkan perdebatan. Ibu rumah tangga (IRT) dianggap tidak mungkin dijalani oleh ibu-ibu yang juga memiliki peran di ranah publik yang menjadikannya harus berkarya atau bekerja dari luar rumah. Gelar sebagai ibu rumah tangga seolah tidak layak disandang oleh mereka yang memiliki peran publik. Padahal sebenarnya, setiap ibu yang menyadari peran pentingnya sebagai salah satu pilar utama dalam pendidikan dan tumbuh kembang anak akan tetap berusaha melaksanakan peran tersebut dengan baik meski waktu dan energinya terbatas.

Saya lebih suka menyebutnya ibu stay at home dan ibu work from office karena frase ini hanya menggambarkan pembagian waktu dan lokasi seorang perempuan menghabiskan jam kerjannya. Istilah ini tidak menggambarkan tentang kualitas seorang ibu dalam melaksanakan tanggungjawabnya atas keluarga. Hal ini karena saat ini sudah banyak ibu yang bekerja di luar rumah namun  tetap menjalankan semua tugas-tugas domestic seperti memasak, mencuci, membersihkan dan merapikan, mendampingi anak belajar, serta berbagai pekerjaan lain yang terkait dengan konstruksi masyarakat yang dilekatkan pada jenis kelamin yang disebut 'perempuan'.

Perempuan dalam Journal

Setiap Ibu adalah Perempuan Hebat dan Kuat

Terlepas dari pendapat saya tentang peran perempuan, namun saya ingin menyampaikan apresiasi pada setiap perempuan yang berusaha melaksanakan semua tanggung jawabnya dengan baik. Sulit untuk menjadi perempuan sempurna apalagi menjadi ibu yang sempurna; juga menjadi ibu yang sempurna sambil menjadi pekerja/karyawan/usahawan/seniman/pendidik yang juga sempurna. Berusaha melakukan semua sebaik mungkin dengan memastikan diri sendiri, pasangan dan anak bahagia seharusnya sudah cukup menjadi standar "baik". Bukankah menjadi baik adalah sesuatu yang baik?

Sebagai ibu yang ditakdirkan Allah memiliki peran publik (kapan-kapan saya akan berbagi kisah kenapa saya menyebutnya dengan takdir) sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) saya juga Allah kuatkan untuk menjalani peran full time sebagai ibu rumah tangga. Allah takdirkan saya tidak pernah bisa memiliki asisten rumah tangga (art) dan babysitter sehingga semua urusan di rumah masih saya yang mengerjakan sendiri.

Kondisi-kondisi ini membuat saya sangat mengapresiasi semua ibu yang berusaha melakukan yang terbaik, baik Ibu stay at home maupun ibu yang work from office. Saya memahami betapa beban mental yang dipikul ibu yang stay at home mudah sekali membunuh rasa percaya diri. Namun, saya juga memahami sulitnya meregulasi emosi dan menghindari mood mengontrol kemampuan kerja bagi ibu yang bekerja di kantor, sebab harus selalu mampu memisahkan dengan bai tugas-tugas rumah tangga dengan tugas-tugas kantor.

Jika ibu bekerja sepertiku seringkali dapat pemakluman dari masyarakat saat melihat bagaimana berantakan rumah dan anak-anakku yang cenderung tidak sering ikuti dalam kegiatan kelompok yang membutuhkan persiapan merepotkan dengan kalimat, "Ya, mau bagaimana lagi karena sambil bekerja?!". Meskipun kadang kalimat itu pedang bermata ganda yang sambil bersikap sinis atas pilihan ibu yang tetap bekerja. Namun, dasar aku memang human tendency-nya adalah rebel, ya bagiku, 'bodo amat!'. Aku yang jalani, aku sudah melakukan yang terbaik sambil berusaha tidak merepotkan orang lain selain suami dan para adik2 penyedia jasa kurir atau aplikasi online. Ha..ha..

Kebayang ya untuk ibu menjalani peran sebagai ibu yang stay at home tapi rumah terlibat berantakan, "Kamu tuh sebenarnya ngapain aja? Seharian di rumah tapi kok rumah nggak bersih?", padahal bisa jadi ibu tersebut sedang fokus menjaga anaknya yang sedang sakit, sedang fokus mendampingi anak mempersiapkan diri untuk belajar untuk ujiannya di sekolah, dan sejuta alasan lain yang memang wajar.

Sejauh ini saya masih selalu merasa bahwa masyarakat kita belum ramah kepada perempuan. Selain itu yang sering berkata kurang menyenangkan ke perempuan adalah Perempuan itu lain. Entah apa alasannya. Apakah karena mencoba meningkatkan percaya diri dengan merendahkan perempuan lain? Apakah sulit berempati dan bersimpati dengan sesama perempuan karena menikmati banyak privilege? Atau banyak alasan lainnya.

Namun, sungguh aku berharap, kita mau berusaha jadi support system bagi perempuan lain, minimal bagi perempuan terdekat kita: ibu, adik, kakak, mertua, ipar, anak, menantu, sahabat, teman kantor, dll.

"Every woman's success should be an inspiration to another. We're strongest when we cheer each other on." - Melinda Gates

Komentar

Postingan Populer